Rabu, November 25, 2009

TAUBATAN NASUHA

Keindahan TobatOleh K.H. ABDULLAH GYMNASTIAR
SEMOGA Allah yang Mahatahu setiap aib (kejelekan, kekurangan, dan kemaksiatan yang kita lakukan), menolong diri kita untuk berani mengakuinya. Karena orang tidak akan selamat kecuali karena ampunan Allah. Bahkan, kalau mau digabung-gabungkan kebaikan kita, satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat, satu kejelekan balasannya sesuai dengan kejelekan itu.
Allah mengajarkan kita cara bertobat sebagaimana tercantum dalam Alquran, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami, niscaya, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (Q.S. al A'raaf [7] :23).
Salah satu syarat tobat adalah menyesal. Akan tetapi, orang tidak akan pernah menyesal kalau dia tidak pernah tahu bahwa dia telah melakukan kesalahan. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang menyadari bahwa dirinya banyak dosa. Keadaan ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan orang yang merasa dirinya telah banyak beramal. Ketika orang merasa sedih dan pilu saat melihat kejelekan dirinya sendiri, itu lebih utama daripada orang yang sombong sehingga ia sangat optimis bisa menjadi ahli surga.
Rezeki terbesar dari Allah adalah ketika kita mulai berani jujur melihat kekurangan diri sendiri. Kehati-hatian untuk tidak mudah menilai orang lain, banyak memperbaiki diri, kemudian menangis dan bertobat, adalah sikap yang lebih baik dilakukan daripada menjadi ahli masjid, tetapi bersikap ujub dan takabur karena amalan-amalannya.
Kesungguhan kita bertobat insya Allah menjadi bagian dari rezeki yang besar dari Allah SWT. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga..." (Q.S. Ali Imran [3]:133).
Ciri-ciri tobat nasuha.
1. Menyesal.
Adanya penyesalan setelah melumuri diri dengan dosa dan kenistaan; adanya penyesalan setelah berbicara kotor; penyesalan ketika mata melihat kemaksiatan; penyesalan ketika menyakiti orang, adalah sikap-sikap yang menunjukkan adanya kecenderungan tobat nasuha. Orang yang tidak menyesal, tidak termasuk tobat. Orang yang bangga pada dosa-dosa yang pernah dilakukannya, menunjukkan bahwa dia belum sungguh-sungguh bertobat.
2. Memohon ampun kepada Allah.
Memohon ampun kepada Allah bisa dilakukan dengan cara mengucapkan istigfar sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Adam as dan Nabi Yunus as di dalam Alquran. Di samping itu, memohon ampun harus dilakukan secara sungguh-sungguh dari hati yang paling dalam. Inilah salah satu tanda orang yang bersungguh-sungguh dalam tobatnya. Begitu pula dengan ungkapan sedih, derai air mata, dan menggigilnya perasaan adalah ekspresi dari penyesalan yang mendalam.
3. Gigih untuk tidak mengulangi.
Bukan sekadar tidak berbuat dosa, berpikir ke arah sana saja tidak boleh. Memang, kita dikaruniai kecenderungan untuk berbuat hal-hal yang negatif. Akan tetapi, bukan berarti harus dituruti. Namun, untuk dihindari, karena itulah yang akan membuat kita mendapatkan ganjaran dari Allah SWT.
Ciri tobat yang diterima.
Menurut Imam Al Ghazali dalam kitab "Muqasysyafatul Qulub", ada beberapa ciri yang menunjukkan tobat seseorang diterima, di antaranya.
1. Orang tersebut terlihat lebih bersih dan lebih terjaga dari perbuatan maksiat. Hal itu terjadi karena dia lebih bisa menahan diri. Dia seolah-olah mempunyai rem yang pakem. Rem ini seakan membuat dirinya terhalang dari perbuatan dosa.
2. Orang yang tobatnya diterima, hatinya selalu lapang dan gembira. Dia merasakannya baik dalam keadaan sendiri maupun ramai. Hati orang ini dihibur oleh Allah sehingga jernih dan lapang.
3. Dia selalu bergaul dengan orang-orang saleh dan mencari lingkungan yang baik pula. Orang yang sudah bertobat, namun masih kembali ke lingkungan yang tidak baik berarti dia belum sungguh-sungguh melakukan tobat. Lain halnya jika ia kembali ke lingkungan yang sama dengan niat untuk mengubah lingkungan itu. Mencari lingkungan yang baik adalah salah satu bagian yang akan membuat agama kita terpelihara.
4. Kualitas amalnya semakin meningkat. Selain menahan diri dari perbuatan maksiat, dia juga semakin meningkatkan kualitas salatnya, saumnya istikamah, malamnya dihidupkan dengan tahajud, dan sedekahnya terus meningkat. Inilah ciri orang yang tobatnya diterima.
5. Dia senantiasa menjaga lidahnya. Dia juga sangat serius dalam menata amal-amalnya. Semakin hari, kualitas amalnya semakin terus bergerak ke arah yang lebih baik. Dia memiliki kualitas pengendalian lisan dan pikiran dengan baik. Ingatannya selalu kembali kepada Allah. Hal itu dia lakukan secara maksimal sehingga cinta dan kerinduannya kepada Allah semakin menggebu.
Jadi, kalau saat ini kita masih senang melakukan maksiat; mulut kita sering menyakiti, tidak memilih pergaulan yang lebih terpelihara, hati selalu resah dan gelisah terhadap urusan dunia, jarang mengingat Allah, dan kualitas amal merosot, itu bisa jadi berarti, tobat kita baru sekadar tobat "sambal", artinya kita menyesal, tetapi hanya sekadar penyesalan yang emosional; belum sampai pada derajat takut kepada Allah. Na'udzubillahimindzalik. ***

Jumat, April 10, 2009

KERDIPAN CINTA

Berita Gembira.

Tut tut….. dering Hpku tanda ada pesan masuk. Aku beranjak menyambar hp di atas meja belajarku. Tak sabar aku untuk membacanya.

“pandar kamu kena di sambas sama dengan aku’’ bunyi pesan singkat dari Ratio.

“Imam kena dimana?” balasku dengan sms.

“imam di selakau”. Balas ratio kembali.

Sedikit menggembirakan berita penempatan KKM (kuliah kerja mahasiswa) ini. Setidaknya harapanku ini dapat membuang penat, pusing yang disebabkan beban kuliah, ujian, dan tugas menumpuk yang baru saja kuselesaikan.

“Perjalanan jauh ke kota sambas yang selama ini tak pernah aku kunjungi, tentu sangat mengasikan“, batinku.

Hal ini tentunya memberi kenangan bagiku, sebab kabupaten sambas memang salah satu daerah yang belum pernah ku kunjungi. Melalui KKM ini aku akan mengunjunginya. Waluapun KKN bukan ajangnya untuk jalan-jalan. Tapi setidaknya bila pandai memanfaatkan waktu tentunya bisa ku lakukan.

Memang KKM tahun ini dan beberapa tahun yang lalu, mahasiswa ditugaskan untuk melakukan kegiatan pemberantasan buta huruf. Mahasiswa FKIP Untan di tugaskan di beberapa kabupaten yaitu kabupaaten kayong utara, kabupaten kubu raya, dan kabupaten sambas. Dari tiap kabupaten tersebut, mahasiswa dipisahkan lagi ke beberapa kecamatan. Dari kecamatan mahasiswa di sebar ke desa-desa yang memiliki angka buta huruf cukup banyak.

Tapi ada sedikit kekecewaanku dalam berita ini, sebab tidak semua sahabatku dapat satu kelompok denganku. Setidaknya satu kecamatan. Hanya satu saja yang satu kecamatan, yaitu Ratio. Sedangkan Imam, Indra, Wahyudi, Reri, mendapat kecamatan yang lain.

Sedikit bercerita tentang mereka. Dalam satu angkatan mahasiswa prodi pendidikan fisika hanya mereka berlima yang dapat dikatagorikan dekat denganku. Bisa dibilang sahabat sejati. Hal ini disebabkan mereka memiliki sedikit kesamaan pandangan dalam pergaulan., khususnya masalah agama. Walaupun jumlah kami di prodi ini untuk angakatan 2005 berjumlah 39 mahasiswa. Dengan diantaranya 20 mahasiswa putra. Namun hanya lima orang tersebut yang selalu membuatku kangen jika tak bertemu. Ya, karena merekalah sahabat yang selalu saling menasihati dalam masalah apapun. Apalagi dalam hal agama. Tak ada kata toleran dalam masalah ini. Jika kami ada yang dirasa menyimpang dari tuntunan agama yang benar, maka yanag lain akan segera menegur dan menasihati. Itulah yang aku sukai dari sahabat-sahabatku ini.

Selain itu, keadaan ekoneomi kami juga tidak jauh berbeda, yaitu sama-sama orang tak mampu. Atau bisa dikatakan mahasiswa miskin. Banyak kisah yanaag memilukan dari kisah hidup sahabaat-sahabatku ini. Dalam tulisan ini akan ku ceritakan satu persatu.

Yang pertama adalah Imam. Nama lengkapnya Imam Suwoko. Dialah sahabat yang paling dekat denganku diantara yang lain. Asalnya daerahnya tak jelas. Awal kuliah dia berasal dari kabupaten Sambas. Namun sekarang entah termasuk kabupaten yang mana. Bisa Sambas, bisa bengkayang, bisa Singkawang, bahkan bis apula Pontianak. Hal ini disebabkan orang tuanya yang selalu berpindah-pindah dari daerah yang satu ke daerah yang lain karena sesuatu yang sangat memilukan.

Dia bercerita, “ dahulu sewaktu aku masih SMP dan awal-awal SMA, aku termasuk orang berkecukupan Ndar. Kami hidup bahagia. Ayang dan ibu masih tinggal bersama denganku serta adikku. Ayang masih sanagat sehat. Kami memiliki kebun sawit yang dapat memberikan penghidupan padaku. Hari-hariku disekolah selalu diberi uang jajan dan aku selalu senang”.

“namun kini kami hidup terlunta-lunta dan saling berpisah. Dan termasuk orang yang tak mampu. Ayah tidak lagi hidup bersama dengan kami. Hal ini bermula ketika ayah menderita sakit yang sangat susah diobati. Bahkan sudah berobat kedokter berkali-kali. Penyakit ayahku seperti bukan penyakit yang wajar,. Bisa dikatakan adalah sakit akibat guna-guna. Entah apa sebabnya. Hingga semua apa yang ku miliki mulai habis untuk berobat ayah, kecuali sebidang tanah yang di atasnya tertanami tanamam sawit yang masih kecil dan belum berbuah. Namun cukup terawat oleh kami. Akhirnya ayah dibawa ke pulau jawa untuk menjalani pengobatan disana”.

“Dengan perginya ayah ke Jawa, maka tulang punggung ekonomi kami kami berpindah pada ibu. Sedangkan kakak kami adalah wanita dan tidak bisa berbuat banyak. Begitu pula aku dan adikku masih sekolah. Aku sangat beruntung saya masih bisa sekolah dan bercita-cita untuk kuliah. Walupun aku tak tahu apakah ibu mamiliki biaya untuk mencapainya.”

Begitulah kisahnya. Aku masih ingat ketika imam bercerita bahwa setelah lulus dari MAN dia sangat ingin kuliah. Dan kainginan ini mengalahkan ingatannya akan susahnya ibu untuk membiaya dirinya. Dan ibu manyanggupi Dia untuk kuliah di pontianak.

Karena belum kenal banyak dengan kota pontianak, maka Imam mendaftar tes SPMB dengan mengikuti seorang temannya yang juga akan mendaftar SPMB. Hanya saja sangat disayangkan temannya ini di pontianak juga menumpang di tempat abangnya. Dan lebih disayang lagi yang membuat imam menjadi tak enak adalah rumah yang ditempati bukan rumah abangnya teman tadi, tetapi rumah temannya abang tersebut. Ketidakenakan imam disebakan tidak adanya hubungan kerabat antara dia dan pemilik rumah. Imam merasa bukan siapa-siapa dirumah itu.

Suatu sore setelah mendaftar SPMB, dan sehabis shalat Ashar, imam tetap duduk diteras masjid. Padahal hari sudah mulai petang. Dia bingung harus pulang kemana. Ia merasa tak enak jika pulang ke tempat yang ia tinggali disaat pertama datang itu. Kebingungan itu berlanjut hingga shalat magrib. Dalam hatinya ia berpikir lebih baik tidur dalam masjid dari pada harus kembali kerumah itu. Akhirnya hingga shalat isya usai ia masih tetap berada disitu. Hal ini membuat seorang pemuda dimasjid tersebut bingung melihatnya, sebab seorang remaja ini dari ashar hingga isya bahkan masjid sudah kosong, tetapi orang tersebut tak pulang-pulang.

“mas dari mana ya?” tanya pemuda itu pada imam. “kok hari sudah malam begini belum ikut pulang seperti yang lain”?.

“Ee ….daari…..sambass bang….”. Jawabnya gugup.

“Oo… dari sambas, ada keperluan apa ke Pontianak?” tambah pemuda itu.

“Anu bang, daftar SPMB”. Jawab imam.

“Terus tinggalnya di mana di sini?”

Imam bingung dengan pertanyaan pemuda tersebut, sebab ia juga tak tahu tinggal dimana. Ia bimbang, apakah harus mengatakan tinggal di rumah yang ia tinggali disaat pertama kali datang atau mengatakan tak belum punya tempat tinggal.

“Eee… belum punya tempat tinggal bang….” . jawab imam memberanikan diri menjawab pertanyaan pemuda itu.

“massyaAllah.! Jadi belum tahu mau tingggal di mana?”

“Iya bang, aku bingung, makannya aku tetap disini. Aku mungkin untuk sementara akan tidur di masjid ini sampai SPMB selesai”. Papar Imam sedikit Merendah. Ini Tentunya sangat berat untuk diucapkan olehnya.

“Bagus gini aja, abang tinggal di asrama, di sana biasa menerima mahasiswa baru untuk tinggal disana yang baru mendaftar kuliah, walupun untuk sementara. Jadi sekarang ikut saya saja kesana, tak bayar kok, gratis”. Ajak pemuda itu.

“Wah jadi nyusahkan abang ni”

‘tadak, dari pada kamu tinggal disini”.

“baiklah bang, makasih atas bantuannya”.

‘iya , yok kita pergi, sebab hari sudah malam, aku belum mandi. Lanjut pemuda itu sembari beranjak pergi.

Imam mengikuti pemuda itu. Pamuda tersebut tinggal di asrama Mahasiswa Kabupaten Pontianak. Dalam hati terblesit saatu kebahagian, dan rasa syukur pada Allah, atas pertolonganNya melalui pemuda itu, sehingga ia tak jadi menginap dalam masjid.

Selama beberapa minggu, imam masih tinggal di Asrama itu. Namum ia sadar bahwa ia adalah tamu di asrama itu. Dengan ia tinggal di sarama tersebut ia mengenal wahyudi dan Reri. Kedua teman ini memang asalnya dari kabupaten pontianak yang berniat tinggal disana, sehingga keduannya dapat tinggal disarama. Sedangkan imam, walupun ini asrama mahasiswa, namun ia tak dapat menjadi anggota asrama tersebut. Sebab, asrama itu adalah khusus mahasisswa kabupaten pontianak. Sedangkan imam berasal dari sambas. Jadi tak ada hubungan sama sekali.

Ia pun selalu berusaha mencari tempat tinggal yang lain. Sebab ia tak mungkin bisa berlama-lama di asrama itu. Melalui informasi orang-orang di asrama itu, ia di tunjukan nama suatu asrama yang dapat ia tinggali dan tidak memungut biaya. Asrama itu adalah Asrama mahasiswa Transmigrasi. Karena kedua orangtuanya adalah termasuk transmigrasi, maka imam pun mendaftar disana dan akhirnya pun diterima. Hingga sekarang ia adalah anggota asrama Transmigrasi.

Imam adalah pemuda yang tagar. Walaupun asrama mahasiswa lumayan jauh dari kampus, namun ia tetap semangat untuk kuliah. Ia berangkat kesekolah dengan sepeda kesanyangannya yang ia ambil dari kampung. Aku sering bergoncengan ketika pulang kuliah atau pun berangkat kuliah. Ia tetap senang walaupun sebenarnya dibalik itu ada kegundahan yang mendalam yang sangat memilukan.

Terdengar kabar berita kehidupan ibunya di kampung pontang-panting mencari biaya hidup untuknya dan adiknya. Ibu kini tidak tinggal lagi dirumah kampung halamannya. Rumahnya telah disita. Satu-satunya kebun sawit yang tersisa telah digadaikan pada orang dikampung. Sekarang ia tak punya apa-apa lagi. Ibunya kini pindah kedaerah Bengkayang yang sangat terpencil dan kadang berpindah-pindah. Disana ibunya bekerja sebagai buruh perkebunana sawait. Adiknya tinggal dengan orang lain di Singkawang dan masih sekolah. Sedangkan kakaknya masih dikabupaten sambas tinggal bersama suaminya.

Jauh di seberang selatan pulau kalimantan, tepatnya di pulau jawa ayahnya tak kunjung pulang. Terdengar kabar bahwa ayahnya tak akan pulang jika belum sembuh, dan ayahnya tak akan pulang untuk waktu yang lama. Sebab sakitnya akan kambuh jika ia kembali kedaerah yang ia inggali dulu.

Ini adalah kisah yang miris jika kita mendengarnya. Hampir-hampir imam berniat cuti kuliah atau bahkan tidak melanjutkan kuliah karena kenyataan ini. Namun kami bersama-sama yang lain berusaha mencegahnya. Kami berusaha membantunya baik materil maupun moril semampu kami agar ia tetap kuliah. Dan akhirnya ia tetap kuliah walaupun harus melalui hari-hari yang sulit. Sebagai sahabat, aku termasuk teman yang selalu mendengar segala kegundahan yang ia derita. Namun aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bisa mendengarkan dan membantunya semampuku.

Salah satu berita gembira tentunya ketika ia telah memiliki pekerjaan sendiri, yaitu mengajar privat. Waluapun gajinya tak seberap tapi ini merupakan nikmat yang berharga baginya. Dan tentunya menambah semangatnya untuk terus kuliah. Dan ternyata ini adalah awal karirnya untuk menjadi orang yang besar diantara kami. Lama kelamaan ia kembali mendapat perkerjaan yang serupa.

Sejalan dengan waktu, dan berkat kegigihannya kini ia dapat menghidupi kehidupannya sendiri. Walaupun harus hidup sederhana. Ini adalah prestasi yang cukup membanggakan kami padanya. Kini ia tak lagi terlalu menyusahkan ibunya. Kini ia tak lagi harus mengharap-harap kiriman uang dari ibunya. Walaupun terkadang memang masih memerlukan.

Bukti ketegaran imam lagi adalah ketika ayahnya pulang dari jawa. Satu berita yang lagi-lagi membuat hatinya harus kembali tertekan. Walaupun ayahnya telah pulang, tetapi kini tetap tidak tinggal bersama ibunya. Keduanya terlibat masalah yang sulit disatukan. Keduanya pun berpisah.

Hal ini berawal ketika ayahnya pulang, ternyata ia tak tahu kalau rumahnya telah tiada, dan kebun sawit satu-satunya yang tersisa telah digadaikan. Anak-anaknya terpencar entah dimana-mana. Tentunya ini sangat memukul ayahnya. Sehingga ayah kecewa dengan ibu. Namun ibu juga tak patut disalahkan. Sebab semua itu untuk menghidupi keluarga dan ayah sendiri tidak pernah lagi menafkahi keluarga karena sakit. Ayah seperti memakan buah sikamalama. Ia tak tahu harus bagaimana dan marah kepada siapa. Dan akhirnya keduanya saling mendiamkan dan berpisah.

Satu-satunya harta orangtuanya yang masih bisa ia dapat adalah kebun sawit yang digadaikan ibunya yang kini telah besar dan dapat dipanen. Namun sayang, kebun tersebut dipersulit untuk menebus kembali. Bahkan orang yang memegang kebun tersebut selama ini mengklaim bahwa tanah itu telah miliknya. Orang itu berangggapan bahwa ibunya telah menjual kebun itu padanya. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dikatakan ibunya.

Imam tetap tegar dan tatap berusaha untuk mendapatkan haknya. Berbagai cara ia tempuh untuk mencari kejelasan tentang tanah itu. Walupun sampai saat ini aku tak tahu bagaimana kelanjutan ceritanya. Ya, itulah imam si penyabar dan tegar.

Yang kedua adalah ratio. Ia adalah mahasiswa dari mandor, kabupaten Landak. Ia adalah mahasiswa yang gigih dan pantang menyerah dan selalu optimis. Teguh pendirian dan setiya kawan.

Masa SMP dan SMA, ia lalui tampa bersama orang tua. Ia tinggal bersama orang lain di daerah Jungkat, kabupaten Pontianak. Hari-hari ia lalui dengan serba susah. Orang tuannya dirumah sebagai petani karet yang penghasilannya sebenarnya tidak cukup untuk menbiayai kuliahnya. Walaupun di Mandor terdapat SMA, namun ia harus sekolah di lain tempat demi kelanjutan sekolahnya.

Masa kuliah tidak jauh berbeda dari masa sebelumnya, ia harus kembali tinggal bersama orang lain, agar ia bisa tetap kuliah. Masih teringat ketika ia bercerita bahwa ia sangat tertekan ketika orang yang rumahnya ia tinggali tak mengenakan hatinya. Sangat mengharukan ceritanya. Hingga akhirnya ia pindah karena tak tahan. Kini ia tinggal masih bersama orang lain, namun masih ada hubungan keluarga walaupun keluarga jauh. Disinilah Tio bertahan hingga sekarang dengan segala cerita kehidupannya yang serba sederhana. Dirumah orang itu ada mobil, mewah, dan adapula motor. Namun ini tak berarti Dia akan dapat memakai kendaraan tersebut. Tetapi sebuah sepedalah yang selalu menggendongnya pergi kuliah. Tak jauh berbeda dengan Imam. Ya kamilah laskar Oemar Bakri yang terkenal sepeda ontanya.

Tapi Ratio adalah pemuda yang gigih dan berjiwa pemimpin. Dia sering ikut organisasi baik di jurusan maupun di Fakultas. Dia pun banyak dikenal mahsiswa di kampusku. Sehingga wajar jika biaya kuliahnya kuliahnya selalu ditopang oleh beasiswa. Selai itu ia juga mengajar privat, sehingga dapat menambal uang kehidupannya.

Yang ketiga adalah Wahyudi. Ia adalah anak nelayang asal Sungai Kakap, kabupaten Pontianak yang cerdas, berwibawa dan baik hati serta rupawan. Sedikit berbeda kisahnya dengan kedua sahabatku sebelumnya. Ia sejak kecil hingga SMA tinggal bersama orang tua. Hanya saja orang tua bekerja sebagai nelayan tidak bisa banyak diharapkan untuk membiaya kehidupannya di pontianak. Oleh sebab itu ia di pontianak tinggal di asrama kabupaten Pontianak. Untuk mencukupi biaya kuliahnya ia juga mengajar privat di beberapa tempa. Bahkan dia juga mengajar pada sebuah sekolah di pontianak. Otaknya yang encer membuat ia lebih mudah untuk mendapatkan beasiswa prestasi dan kesempatan kerja. Hal ini seakan menutupi kekurangannya selama ini yang sebagai anak nelayan. Pada awal kuliah ia pergi ke kampus dengan berjalan kaki. Tapi sekarang seiring dengan kesibukanya yang semakin meningkat ia di pinjami motor oleh pamannya. Sehingga mempermudah ia menelusuri jalan-jalan kehidupan.

Yang keempat adalah Reri. Nama lengkapnya Reri Sugiarto. Ia mahasiswa berasal dari Mempawah, kabupaten Pontianak. Ia adalah anak yang slembe, santai, tenang, dan kurus perawakannya seperti aku. Ia di Pontianak tinggal bersama wahyudi yaitu asrama mahasiswa kabupaten pontianak. Ia berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ayahnya adalah pensiunan guru dan ibunya masih juga guru. Pada awal kenalnya aku menganggap ia adalah orang yang biasa-biasa saja. Kecerdasannya kurang lebih kami kecuali wahyudi. Dahulu motivasi kuliahnya paling payah, bisa dibilang seperti orangnya yaitu santai. Mata kuliah banyak yang tak bisa diambil akibat IPK-nya tidak mencukupi. Dari awal kuliah hingga kini, ia pergi kekampus dengan berjalan kaki. Begitu pula dalam hal kehidupan agama. Ia sedikit lebih lambat loadingnya untuk bersemangat dalam menggali ilmu agama.

Namun ia sekarang berbeda jauh dari dulu. Baru kusadari bahwa ia adalah pemuda yang tenang dalam menangai masalah-masalahnya. Seperti masalalah ekonominya yang tak jauh berbeda dengan kami. Termasuk pula disaat ayahnya meninggal. Ia terlihat sangat tenang dan tegar. Dia tak sama sekali menampakan kesedihanya secara berlebihan. Dia tetap tersenyum kepada kami. Dalam ketaatanya pada agama, sekarang jangan di anggap remeh. Sekarang bisa dikatakan ia lebih semangat dariku. Tak bisa ku tutupi aku salut dengannya, untuk urusan yang satu ini.

Yang terakhir adalah Indra. Nama lengkapnya Indra Utama. Pemuda blasteran dayak dan jawa yang lahir di kabupaten sanggau. Bisa dinggap Dia adalah mahasiswa yang paling berada diantara kami. Kedua orang tuanya bekerja. Dari awal kuliah ia sudah memakai motor. Di Pontianak ia tinggal dirumah orang yang kosong pada komplek yang lumayan mewah. Penampilanya selalu rapi, enak diajak bicara, disiplin, setia kawan dan berjiwa pemimpin. Walaupun demikian dia selalur rendah hati dan tak segan untuk selalu bergaul dengan kami. Itulah indra, satu kelebihanya yang tak kumiliki darinya dan keistimewaanya adalah rela berkorban. Siapapun ynag meminta pertolongan jika ia mampu, mama akan ia bantu.

Demikianlah kehidupanku dan sahabat-sahabat sejatiku. Kami dikumpulkan dalam kesamaan latar belakang. Dan yang lebih penting adalah kami disatukan karena semua dari kami bersemangat dalam menuntu ilmu agama. Itu yang paling aku rasakan. Kami berlomba-lomba untuk tahu sebanyak-banyaknya tentang agama dan mengamalkannya. Kami saling menasihati dan memberi semangat dalam menjalani kehidupan yang serba kekurangan.

BERSAMBUNG..........

(ini cerita perjalanan hidup penulis)

SURAT DARI ABI TERCINTA

Assalamu’alaikum warahmaatulahi wabarokatuh.

Ananda yang tersayang…

Aku tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu. Sebelum kulanjutkan, bacalah surat ini sebagai surat seorang laki-laki kepada seorang laki-laki. Surat seorang ayah kepada seorang ayah.

Nak, menjadi ayah itu indah dan mulia. Besar kecemaasan saat menanti kelahiranmu dulu belum hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah, karena didasari sebuah cinta. Sebuah cinta yang telah terasa ketika yang dicintai belum sekalipun ku temui…

Nak, menjadi ayah itu mulia. Bacalah sejarah nabi-nabi dan rosul dan temukanlah betapa nasihat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan anaknya.

Meskipun demikian, ketahuilah Nak, menjadi ayah itu berat dan sulit. Tapi ku akui, betapa sepanjang masa kehadiranmu di sisiku, aku seperti menemui keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu. Sepanjaang masa keberadaanmu adalah masa terindah dan paling aku banggakan didepan siapapun. Bahkan di hadapan tuhan ketika aku duduk berdua berhadapan denganNya. Hingga saat usia senja ini.

Nak, saat pertama kali engkau hadir, kucium, kupeluk engkau sebagai sebuah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisah oleh apapun jua. Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu mengatakan “tidak”, timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya. Engkau bukan miliku, atau milik Ibumu, Nak. Engkau lahir bukan karena cintaku dan Ibumu. Engkau adalah milik Allah saja. Tak ada hakku menuntut pengabdianmu kepadaku. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya sebatas seperlunya saja. Karena pengabdianmu seharusnya hanya untukNya.

Nak, sedih, pedih dan terhempas rasanya menyadari siapa sebenarnya aku dan siapa engkau. dan dalam waktu yang panjang, di malam-malam yang sepi, kusesali kesalahanku itu sepenuh air mata dihadapan tuhan. Syukurlah penyesalanku itu mencerahkanku.

Sejak saat itu Nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu pada pemilikmu yang sebenarnya. Melakukan segala sesuatu yang senantiasa membuatmu berusaha memenuhi keinginan pemilikmu. Melakukan segala sesuatu karenanya, bukan karena aku dan Ibumu. Tugasku bukan membuatmu di kagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan di cintai Allah.

Inilah usaha terberatku Nak, karena artinya aku harus dahulu memberi contoh padamu untuk dekat dengan Allah. Keinginanku harus lebih dahulu sesuai dengan keinginan Allah. Agar pengalamanmu mendekatiNYa tak terlalu sulit.

Kemudian kitapun memulai pelajaran itu berdua. Tak pernah engkau ku hindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku hanya menggenggam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain agar dapat ku rasakan perjalanan rohaniah yang sebenarnya.

Saat engkau mengeluh letih berjalan, ku kuatkan engkau karena memang tak boleh berhenti. Perjalanan mengenal Allah tak kenal letih dan berhenti. Inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hampir putus asa.

Akhinya Nak, kalau nanti kita semua manusia sikumpulkan di hadapan Allah, dan kudapati jarak amat jauh dariNYa. Aku akan ikhlas karena seperti itulah aku di dunia. Tapi, kalau aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan Allah. Aku bangga Nak, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa kita kembalikan kepasa Pemiliknya.

Dari ayah yang senantiasa merindukanmu.

(Abu Umaar basyir, “keajaiban cinta”. Hal 92. rumah zikir)